(Sedang proses editing untuk di terbitkan. semoga lolos aminnn )
SESUAP NASI UNTUK EMAK
Suasana
di pasar pagi ini sangat penuh sesak, pedagang-pedagang pun mulai sibuk
melayani para ibu-ibu rumah tangga ataupun para pekerja rumah tangga. Anak-anak
yang putus sekolah pun mulai menjajakan plastik untuk menawarkan jasa mengangkut
belanja , ataupun anak-anak yang menjadi kuli panggul. Keadaan seperti ini
sudah sering terjadi di pasar. Dan Parjo sudah terbiasa dengan keadaan ini, dia
salah satu anak yang mencari makan di
pasar.
“Kantong,
kantong, kantong... kantong bu?” suara
Parjo menjajakan daganganya dengan suara khasnya. Tiap pagi dia selalu ikut di dalam suasana yang tidak pernah sepi.
Selesai kantong plastiknya terjual habis dia beralih ke depan ruko-ruko sembako
berharap ada beras yang jatuh, yang bisa di kumpulkan menjadi segumpulan beras
dan dia bisa bawa pulang.
“Tong,
mau gue kasih beras ga?” panggil engkong
haji yang memiliki ruko beras yang biasa Parjo punguti
“Ah,
mau kong!” dengan sigap Parjo pun menjawab
“Nah,
sebelumnya lo bantuin gue rapihin karungn beras, lo lipet dan lo iket ya?”
“Baik
kong” kata parjo dan dengan sigap dia langsung mengerjakan.
Dengan
pakaian yang sangat lusuh dan berpeluh keringat dia kerjakan, tak peduli berapa
imbalan yang dia dapat. Mendapatkan beras untuk di masak saja sudah lebih dari
cukup untuknya. Parjo anak yatim, dia mempunyai adik perempuan yang masih
berumur 4 tahun. Ibunya pun sakit-sakitan.
“Nih”
kata engkong memberikan satu plastik
kecil beras.
“Makasih
ya kong?” Parjo pun sangat gembira,
matanya pun berkaca-kaca.
“Alhamdulillah
hari ini, mumpung ada uang lebih aku mau beli jengkol ah buat emak” kata Parjo
dengan gembira. Saat dalam perjalanan pulang terdengar kumandang Adzan dari
jauh, langsung Parjo berjalan ke masjid terdekat. Parjo memang anak yg soleh.
Saat dia sholat, semua barangnya ia letakkan di belakang dia, namun setelah dia
selesai sholat betapa kagetnya dia melihat makananya yang dia beli termasuk
beras hilang.
“Ya
Allah, siapa yang tega berbuat ini padaku??bagaimana emak dan iin di rumah?”
Parjo pun lemas dalam langkahnya pulang. Apa yang harus ku katakan.
“Abang
ajo pulang makkkkk” teriak si iin kecil
“Wah
anak emak udah pulang” sambut emak dengan senyum
“Mak,
maafin ajo ya. Ajo ga bawa apa-apa”
“Ga
laku ya jo plastik mu?” tanya emak. Parjo pun hanya menggelengkan kepalanya
lalu memeluk emak
“Tadi
Ajo udah bawa satu plastik kecil beras dan sebungkus jengkol buat emak
tapi....” kata Parjo sambil terisak
“Tapi
kenapa jo, ayo ngomong sama emak”
“Pas
Ajo sholat di masjid, Ajo taro ntu makanan di belakang Ajo mak. ..,teeetereus
pas udaaa se..le..sai.iii u..dah ga ada....” kata Parjo sambil terisak
“Parjo
sayang, udah ga usah nangis. Berarti belum rezeki. Kamu tenang masih ada
singkong rebus kok. Kita makan itu lagi aja ya?” kata emak sambikl memeluk dan
mengusap kepala Parjo.
Walaupun
Parjo anak yang kuat dan sangat pekerja keras, tetap saja dia hanya seorang
anak yang masih berumur 10 tahun.
“Iya
abang ajo.. iin aja nda nanisssss. Abang uga donggg” kata iin dengan cadelnya.
Dan
malam pun berlalu, keesokanya Parjo kembali bekerja. Namun hari ini sepertinya
keberuntungan tidak ada pada Parjo. Daganganya tidak habis. Hanya laku dua yang
berarti hanya tiga ribu pendapatanya. Parjo duduk di sudut pasar sambil
memegangi perutnya yang sakit karena sangat lapar. Jelas saja dia hanya memakan
satu potongan singkong rebus. Sambil berjalan dengan gontai dia pun menyusuri ruko-ruko
pasar, dia punguti beras yang
berjatuhan. Dia pilihi sayuran yang masih layak makan namun di buang oleh para
pedagang.
“Mak
ini , Cuma segini Parjo dapetnya”
“Iya
ga apa-apa jo” kata emak sambil mengambil pemberian Parjo. Hari itu tampak
berbeda, emak sepetinya penyakitnya kambuh. Sudah hampir dua tahun setelah abah
meninggal, emak sakit-sakitan. Emak sakit karena dulu menjadi buruh cuci dan
pembantu harian. Emak kecapean sehingga dia terpeleset di kamar mandi, lalu
tidak kuat untuk bangun lama-lama. Keseharian emak juga hanya memasak dan
kembali tergeletak, sisanya Parjo yang mengerjakan.
“Mak,
emak sakit?”
“Ga
jo” kata emak sambil tersenyum
“Ah
abang, emak tadi tuh pegangin peyutt teyuss, iin juga bang peyut iin lapellll”
sambar iin
Astaga,
kalau perutku saja tadi sakit gimana dengan emak dan iin?? gumam Parjo di hati.
Aku
harus bisa besok bawain lebih dari hari ini untuk emak, gumamnya dalam hati.
Esoknya
pagi sangat ceraah, bahkan terik. Lagi, keberuntungan juga tidak menghampiri
Parjo. Bahkan sama sekali tidak menghampiri. Tidak sepeserpun dia dapat hari
ini.
“Emak,
iin, ajo harus gimana?” isak Parjo yang lagi-lagi sifat anak kecilnya keluar.
Dia kembali menyelusuri ruko, namun anak lain sudah terlebih dahulu mengambil
sisa beras yang jatuh. Kembali dia selusuri tumpukkan sayuran, namun semua
sudah busuk tak layak makan. Dengan menunduk dia pulang.
“Assalamualaikum”
Parjo menguca salam dengan lemas.
Namun
tidak ada yang menjawab, hanya terdengar tangisan si kecil Iin
“Abangggg
emak baaadannnnyaa pa..pa...nas......emak dali tadi bobo teyusss” isak Iin
“Ya
ampun emakk..” Parjo pun langsung memeriksa emak
“abang..
iinn laperrrr” Iin pun menangis. Parjo pun memeluk adiknya, dia semakin sedih
karena dia juga tidak membawa apa-apa hari ini.
“De
jagain emak ya, abang cari makan dan obat dulu” Parjo pun berdiri dan berlari
ke pasar mencari-cari makanan sisa untuk di bawa pulang, namun karena hari
sudah gelap dia tidak menemukan apapun. Lalu dia berlari ke lampu merah, dengan
tangan kosong dia beranikan diri untuk mengamen.
“Heh
lo jangan ngamen dimari tong! Ini wilayah gue” kata Ibu-ibu yang berpakaian
lusuh dengan menggendong bayi. Lalu Parjo pun kembali pergi dari situ.
“emak,
tunggu ajo ya!” kata ajo sambil menghapus airmatanya.
Dia
kembali mengamen di lampu merah
lain.Berjam-jam dia mencari tempat karena banyak preman dan penguasaan setiap wilayah.Lalu akhirnya dia mendapat
uang, walaupun hanya lima ribu. Dia berjalan menyusuri warteg dan membeli makanan
untuk emak dan iin. Sepertinya pemilik warteg iba melihat Parjo, anak yang baru
berusia 10 tahun masih mencari uang sampai pukul sepuluh malam
“Dik,
kamu kenapa malam-malam masih berkeliaran?” tanya pemilik warteg
“Akuu
lagi cari nasi buat emak sama Iin, emak sakit bu belum makan. Boleh aku beli
nasi dua ribu dan kuah saja bu?”
“Ibumu
sakit?” pemilik warteg pun bertanya lagi sambil membungkus nasi untuk Parjo
“Iya
bu, bu jangan pakai apa-apa. Kuah saja” Parjo pun takut uangnya tidak cukup
bila memakai lauk.
“Ndak
apa-apa dik ini” sambil menyerahkan dua bungkus nasi dan lauk lengkap
“ini
bu uangnya”
“Eh
ga usah ambil aja, oya ini satu lagi” kata pemilik warteg sambil memberi uang
selembar uang sepuluh ribuan
“Maksih
bu” Parjo pun lansung mencium tangan ibu itu, dia sangat senang dan langsung
berlari pulang dan tidak lupa dia membeli obat. Dengan tergesa-gesa dia berlari
pulang. Namun sesampainya di rumah dia kaget, rumahya ramai. Lalu seorang Ibu
tua menghampirinya
“Ajo
yang kuat ya sayang”. Parjo pun langsung masuk ke dalam, dan dia menemukan
ibunya telah terbujur kaku.
“Emakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk”
suasana pecah karena teriakan Parjo nasi bungkus dan obat yang dia bawa jatuh
berantakan.
“Emakkkkkkk
ini ajo pulang bawa nasi untuk emak dan iinnn . Emakkk bangunnnnnnnnnn, ajo
nanti sama siapa?????????????? “ teriak Parjo sambil menggoyahkan tubuh ibunya
yang sudah kaku
“Mak
satu suap saja makkkkk, ajo minta maaf makkkkkk. Ajo kelamaan cari
makananyaaaaa. Ini ajoo udah beli obat juga mak.” Parjo pun tidak percaya
ibunya telah tiada,dia hanya menangis sambil memegang sesuap nasi yang dia bawa
tadi untuk di suapkan untuk ibunya. Namun apa daya takdir berkata lain, ibunya
tidak sempat menikmati nasi bungkus yanng dibawa bocah kecil itu.
“Abangggggg”
panggil iin yang juga menangis. Mereka pun berpelukkan. Mereka sekarang anak
yatim piatu, Parjo yang masih berumur 10 tahun dengan iin yang baru 4 tahun
harus bisa menjalani hidupnya tanpa ayah dan ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar