Minggu, 31 Maret 2013

Kejujuran Dalam Bucket










 
Rama, dia adalah sosok lelaki yang sudah sangat lama mengisi hari-hari ku. Dia adalah sang lelaki yang selalu perfectsionist dalam segala hal mulai dari pakaian dan apapun hal kecil sangat ia perhatikan. Hubungan yang diawali dari semasa kuliah saat itu, masih bertahan hingga saat ini, susah dan senang pasti aku lewati bersama Rama. Namun, suatu ketika Rama membuat keputusan, ya dia sangat ingin untuk meneruskan cita-cita nya sekolah di luar negri. Rama memutuskan untuk pergi keluar negri untuk meneruskan sekolahnya untuk mengambil gelar master impianya dan aku “Sierra” ya panggil saja aku  “Sierra”. Aku hanya seorang editor di salah satu majalah remaja di Jakarta. Sudah delapan bulan Rama pergi kuliah disana semua terasa sepi,ya sepi sekali. Biasanya kami selalu menghabiskan waktu untuk pergi bersama walaupun hanya sekedar makan malam di pedagang kaki lima.
“Ra, kamu ngeliput konser ya di Aussie” tiba-tiba atasan ku Pak Bryan memecahkan aku dari lamunanku.
“APA??” aku pun sontak berkata sambil menoleh ke arah Pak Bryan.
“Iya kamu ngeliput ke luar Indonesia langsung, soalnya wartawan kita yang khusus buat ngeliput ke luar lagi cuti, kamu mau gak?”
“MAU PAK!” aku pun langsung berdiri, tersenyum dan mengangguk keras yang menandakan aku sangat setuju dengan tawaran dia.
Tugasku kali ini adalah meliput konser dari seorang artis wanita kelas dunia yang beberapa waktu lalu batal mengadakan konser di Indonesia. Rihanna.
**
Mimpi, apa ini semua mimpi? Aku akan ke negara dimana tempat Rama menuntut ilmu. Dari dulu aku selalu ingin kesana, menyusulnya sesekali melihat dia saat ini. Dia pasti sangat terkejut melihat ku berada disana hmmm.
Aku pun bergegas mengemasi semuanya, tak lupa aku akan membawakan untuk Rama makanan yang sangat dia sukai. Astor, makanan klasik yang dulu tidak pernah dia lupa bawa di tasnya. Dia pasti menyukai kejutan aku ini, ya pasti!
**
Sesampainya aku di Sydney International Airport, aku langsung bergegas meliput konser yang menjadi tujuan utama ku. Karena jarak antara Indonesia dan Aussie ini tidak terlalu jauh aku tak merasa lelah. Aku lengkapi semua terlebih dahulu, aku berjalan sambil menggantungkan kamera di leherku. Aku mengamati gedung ini, setiap moment yang aku anggap bagus aku tak akan lewatkan untuk ku ambil gambarnya. Sesampainya di lokasi konser, aku langsung mengambil gambar dari setiap moment konser tersebut, dan tibalah saatnya aku untuk menanyakan beberapa hal alias wawancara beberapa mahasiswa ataupun mahasiswi yang memang asli penduduk Indonesia namun sedang melanjutkan sekolah di sana. Dan, ya.. aku melihat seorang wanita cantik sedang berdiri di ujung sana sendiri.
“Hey, kamu mahasiswi dari Indonesia kan?’ tanyaku sambil mengulurkan tangan yang artinya aku mengajak dia untuk berkenalan.
“Iya, kamu siapa ya?” tanyanya padaku.
“Gue Sierra dari wartawan dari Indonesia, boleh minta waktu sebentar buat sekedar nanya-nanya tentang opini mengenai konser ini?”
“Okey ga masalah kok, gue Kara “ sambutnya sambil menjabat tangan ku.
Dan saat perbincanganku dengan Kara sedang berlangsung, tiba terdengar  suara ponsel Kara berbunyi,
“Iya hon, aku disini “ katanya sambil mencari-cari orang dari kejauhan sambil melambaikan tangan seolah sedang membei tanda kalau ia sedang berada disini. Saat itu juga otomatis pembicaraan ku dengan Kara terhenti sejenak menunggu sesorang yang sedang dia cari, aku pun sibuk mencari ponsel ku di dalam tas.
“Hey hon” suara terdengar dari kejauhan yang memang sudah terdengar akrab di telinga ku, aku pun mencoba melihat untuk mengetahui siapa orang yang baru saja datang, dan ternyata,
“RAMA?!” aku pun tersentak saat itu.
“SIERRA” dia pun tak kalah tersentaknya dengan ku
 “Honey..” panggil Kara kepada Rama, dan langsung memeluknya
“Lho, kamu kenal dia??” tanya Kara heran setelah mendengar kita saling menyebutkan nama.
“Gue temenya Rama waktu sekolah dulu, gue satu kelas sama dia waktu SMA. Oke gue langsung ya,thanks ya Kara buat waktunya, gue mau ngeliput lagi have fun nonton konsernya” kata ku sambil mengulurkan tangan dan pergi menjauh. Rama hanya terdiam saja tidak melakukan apapun, perlahan airmata ini jatuh tanpa aku sadari, aku berjalan pergi menjauh setelah aku mengetahui yang selama ini dia lakukan dibelakangku. Berjalan dengan tergesa-gesa mencari pintu keluar dari dalam gedung ini, aku tidak tau apa yang harus aku lakukan lagi saat ini. Aku masuk ke dalam taksi, dan langsung menuju hotel.
**
Aku pun terus memandangi semua foto ku dengan Rama di laptop ku, aku tak menyangka akan seperti ini semuanya, aku selalu berfikir positif ketika dia tidak memberi kabar, dia yang terkadang tidak memperdulikan email yang selalu aku kirim, dia yang terkadang lupa untuk sekedar mengucapkan selamat malam Aku pikir dia memang sedang sibuk dengan segala tugasnya yang ada, aku pikir dia memang benar-benar letih jika harus memebei kabar setiap waktu nya kepadaku di tengah thesis nya. Aku terdiam, menangis hanya itu saja yang aku lakukan. Semua langsung hancur ketika aku melihat itu semua, Rama lelaki yang aku yakini akan menjadi calon imamku, yang aku yakini akan menjadi ayah dari anak ku kelak, terlalu banyak mimpi yang kita sudah susun bersama untuk semuanya tapi dia malah menghancurkan semuanya. Tiba-tiba ponselku berdering,
“Sierra, kamu dimana sekarang? Aku bisa jelasin semuanya?” tiba-tiba Rama menghubungi ku dan langsung berkata seperti itu.
“Ga Rama, ga ada yang perlu kamu jelasin lagi, semua udah jelas kok, Dan kamu gak perlu capek-capek buat jelasin semua ke aku. Mata dan telinga ku masih normal untuk memberi kesaksian. Aku juga akan lupain semua mimpi kita, aku gak akan ganggu kamu lagi dengan ribuan email ku yang jarang dan bahkan hampir sama sekali gak pernah kamu bales!”
“Gak gitu Sierra, kamu harus dengerin aku. Aku gak mau kehilangan kamu, aku mohon kamu denegrin aku kali ini” terdengar suara Rama mulai serak yang mengisyyaratkan dia ikut menangis juga.
“Kamu tau, betapa sakitnya aku tadi? Betapa aku terkejutnya aku? Aku, melihat calon suami ku di peluk wanita lain depan ku. Kamu tau Rama, akhir tahun nanti kita akan nikah? Kamu tahu betapa sangat aku beri kamu hati aku? Aku sangat kecewa Rama sama kamu? Apa salahku Rama? “ aku pun menangis saat itu.
“Sierra, maafkan aku tapi aku punya penjelasan. Please, kita harus ketemu sayang?”
“Gak perlu Rama, aku sudah terlalu percaya kepada mu namun ketika semua sudah kamu hancurkan itu, aku jadi sangat membenci mu. Jaga wanita itu seperti kamu menjaga ibu mu, jangan kamu lakukan lagi kesalahan kamu ini ke wanita itu, Bye” aku pun mengakhiri perbincangan itu, airmata ini langsung deras turun dan aku tak bisa membendungnya. Aku pun langsung bergegas mengemasi barang-barangku setelah laporan liputan ku ini selesai, pagi buta aku kembali ke Indonesia lagi.
            Aku selalu mengisi hari ku dengan menulis, saat Rama jauh dari ku. Aku sebut dia dengan ‘malam’ dan dia selalu menyebutku dengan ‘lil star’ ataupun bintang kecil. Ketenangan ku bersamanya aku ibaratkan ‘malam’. Dan aku adalah bintang kecil yang selalu merindukan ‘malam’ itu. Banyak puisi yang aku tulis untuk nya yang slalu aku ibaratkan ‘malam’. Dan saat ini ‘malam’ ku telah pergi, ya dia memutuskan untuk memberi ketenangan lain kepada bintang lain. Saat ini tak ada teman yang menemani ku, aku hanya bisa menggoreskan kata-kata ku.
Dear, malam ku pelepas penat,
Ijinkan aku ketika aku tidak mampu menahan semua peluhku saat ini,
Malam, aku sadar waktu mu memang singkat,
Awalnya aku pikir sang bintang akan selalu berdampingan dengan malamnya?
Malam, pernah kau berkata saat itu, betapa kau kagumnya dengan bintang kecil itu?
Bintang yang membantu mu memberikan mu malam yang indah?
Namun saat ini waktunya tiba, kau terpaksa mengganti bintang kecil itu dengan bintang yang tampak lebih berkilau dari kejauhan
Apa kau akan bahagia tanpa bintang kecil yang selalu menari lincah, bercahaya seolah memberi malam mu sempurna?
Malam, bintang kecil itu sangat berterima kasih atas waktumu mengijinkannya untuk mendapatkan ketenangan disampingmu,
Ketenangan yang tidak akan ia lupakan,
Semoga bintang lain itu akan lebih memberi malammu sempurna, malam.
Jika nanti ada bintang kecil yang berkelip dari kejauhan,
Itu bintang mu yang dahulu, dia akan selalu tersenyum melihat dirimu.
Sedikit lega saat aku selesai menuliskan itu semua, aku berkemas dan siap untuk besok terbang kembali ke Jakarta.
**
“Wah cepet banget kamu balik Sierra? Eh tunggu kok kamu pucet? kamu sakit?” Pak Bryn menyambutkku
“Iya pak, oya pak ini semua sudah selesai laporanya saya ijin pulang ya pak”
“Yo ndak apa-apa Ra, kamu istirahat ya”
“Iya Pak makasih” kataku datar.
Aku pun berjalan menyusuri halte, tak peduli saat itu hujan datang dengan deras. Di saat semua orang sekitarku berlari untuk meneduh, aku hanya berjalan perlahan menikmati air hujan ini menyentuh seluruh tubuhku. Aku senang saat hujan datang, karena tidak ada seorang pun yang tahu ketika aku sedang menangis. Lalu tiba-tiba bruk, seorang lelaki tinggi datang keluar dari dalam taksi menabrak aku  yang saat itu memang tidak memperhatikan kondisi sekitarku.
“Eh maaf ya..Loh Sierra??” lelaki itu meminta maaf, diam lalu dia mengamati dan mengenali ku,
“Ga apa kok,...?” aku pun balik mengamati lelaki itu
“Lo gak kenal gue Ra?” tanya lelaki itu namun aku masih menunduk dan menggeleng saja
Look at me so deeply, please” pinta nya, aku pun mengamatinya
“A...Alvin?”jawabku ragu
“Iya Ra, loh lo kok basah gini sih? Nih pake..” dia pun memberi jaketnya kepada ku
“Ga usah Vin..” kataku sambil menahan gemertak susunan gigiku
“Apaan sih lo, liat baju lo basah gini Ra?” samar-samar suara Alvin pun menghilang dan pandangan ku mulai buram.
**
Ruangan ini sangat berbeda tercium dari aromanya. Perlahan aku mencoba membuka mata,  Alvin,  ya sosok pertama yang aku lihat sedang tertidur pulas menungguiku di rumah sakit ini. Aku pun mencoba memaksakan diri ku untuk  bangun dari tempat tidur,
“Ra, udah sadar lo? Jangan di paksa bangun” Alvin tampak sigap menuntunku untuk merebahkan kembali tubuhku di tempat tidur.
“Lo dari tadi nemenin gue ya?” kata
“Dari tadi? Ra lo udah dua hari ga sadar , kok di bilang dari tadi sih?hihi” terlihat ada wajah tenang diwajahnya Alvin
“Masa sih, eh gue mau balik ah soalnya dari jumat gue kan ke Aussie liputan dan ternyata sampai sekarang gue disini. Tapi tunggu deh lo kok ada di sini.?”
“Lupa beneran apa lupa bohongan sih lo? It’s February”.
“Emang ada apa Vin?” tanya ku yang masih bingung, namun Alvin hanya diam saja dan tersenyum kecil.
“Udah nanti juga tau kok, eh cincin lo kemana Ra?”
“Cincin?”
“Iya cincin yang selalu lo pake, yang lo bilang dari si Rama?” tanya nya, aku pun langsung terdiam dan menunduk.
“Kok lo tau soal itu? Tau dari mana?” jawabku cukup kaget
“E..engga Cuma waktu itu lo pernah update kan di twitter” jawabnya gugup
“Twitter? Kok lo tau?” tanya ku yang tambah bingung
“Iya udahlah gausah di jawab aja” jawab Alvin yang sepertinya kehabisan kata-kata, namun air mata ku jatuh dengan sendirinya
“Eeeh kok malah nangis, gue salah ngomong ya Ra? Aduh maafin gue ya Ra” katanya memohon
“Rama, Vin? Raaa- mma” aku pun tak kuat meneruskan semua kata-kata ku
“Udah gak usah di terusin ya Ra, gue ngerti kok. Udah nanti lo sakit lagi kan gue juga berabe”
“Oh ga ikhlas toh yooo” kataku
“Becanda kok” katanya sambil tersenyum manis dan mengusap kepala ku
**
Alvin adalah teman ku saat SMP dulu, dia orang yang cukup pintar dan memang selalu care kepadaku, tubuhnya yang tinggi proporsional dengan kulit kuning langsat serta senyumnya yang selalu bisa membuat ku tersenyum terdiam. Melihatnya selama 6 tahun tak bertemu dan komunikasi dengannya otomatis aku terkejut, terakhir aku dengar dia sudah berada di Seoul karena memang pekerjaanya adalah seorang pramugara. Tak ada satu wanita yang tidak menyukai sosok Alvin namun aku hanya menganggap dia seorang teman ku saja. Sahabat yang selalu berada di sampingku di segala kondisi, termasuk keadaan seperti ini.

Hei Sierra malam, gimana keadaan lo?
Udah sehat kah ?
                                    Alvin
                                    Received : 7.15pm
Pesan singkat dari Alvin pun memecahkan aku dari lamunanku,

Malam, udah baikan kok gue
Lo dimana sekarang Vin?
Oya lupa gue, btw thanks dude udh jagain gue
Di rumah sakit
Aku pun membalas sms Alvin yang dia kirimkan dan pembicaraan kami dimulai.


It’s ok Ra, kaya sama siapa aja lo
Eh gue lagi pengen makan nih, pecel ayam deket sekolah kita dulu
Lo mau nemenin gue ga? Sekalian gue mau cari sesuatu
Kalau mau besok gue jemput di rumah lo. Gimana?
Aku pun menerima tawaran Alvin.
**
“Kakak.... bangunn” Bunda pun membangunkan ku dari tidur
“Iya, apa sih mah ini kan Sabtu. Aku libur” mataku masih terpejam juga saat berbicara dengan Bunda
“Loh ada Alvin di bawah, eh Bunda kangen sama Alvin, kok tiba-tiba dia ada disini ya?udah gede lagi sekarang”
“Hah?! Alvin, astaga aku lupa yaudah Abun keluar dulu aku mau mandi bilangin tunggu ya ”
“Waduh anak gadis Bunda ribet bener ya? Itu pertanyaan ga di jawab lagi” jawab Bunda sambil keluar kamarku
**
“Waaa Vin, maaf yaaa? Hehehe” kataku menghampiri Alvin yang sedang duduk di ruang tamu
“Udah biasa gue dari dulu emang ga pernah ilang tuh habbit lo”
“Hehe udah ah yuk jalan” kataku sambil menarik tangan Alvin

**
Sesampainya di tempat yang Alvin maksud, kami langsung bergegas makan dan semua masih terlihat seperti 9 tahun yang lalu. Tak lupa kami sempatkan masuk ke dalam sekolah kami dulu. Bangku taman tempat ku dan Alvin duduk saat berdiskusi tentangi pelajaran masih ada dan tidak berubah sama sekali. Di sini aku mencoba menatap Alvin, tak banyak yang berubah dari dia.
“Hmm Ra, inget ga lo sama tempat ini?” tanya Alvin
“Iya gue inget kok kan ada yang pernah tuh kelabakan dikerubutin cewek-cewk waktu itu, malah ada yang nyubit gue soalnya disangka lo sama gue pacaran kan?”
“Haha, iya terus lo nangis kan di cubitin si Dara? Terus si Dara malah gue omelin”
“Iya dan semua orang tuh selalu berisik, bilang kalau muka kita tuh mirip sampai gue bosen dengernya”
“Keseringan bareng kali ya kita Ra”
“Mungkin..” kataku sambil tersenyum menatap Alvin
**
Hari pun terus berlalu tak terasa sudah dua minggu aku mulai mencoba meninggalkan masa lalu ku dengan Rama, semakin aku mencoba untuk melupakan Rama semua semakin nyata. Beribu email mengisi inbox ku,namun tak sedikit pun ada hasrat ku untuk membacanya. Aku hanya duduk termenung menatap jauh keluar dari kamar ku. Entah bagaimana aku harus membicarakan ini semua dengan keluarga ku, dimana akhir tahun ini adalah hari pernikahan kita. Pertemuan keluarga pun sudah dilakukan satu bulan yang lalu. Dan saat aku masih termenung ponselku berdering, BBM dari Lala sahabat ku dan sahabat Rama.
Ra, sabar ya. Gue barusan terima email dari Rama
Dia mengundang kita semua buat dateng ke tempat dia
Ke Sydney, dia mau nikah Ra sama Kara. Ra harusnya lo dengerin
Apa alasan Rama Ra, tapi gue juga ga ada hak buat jelasin ini
lo mau dateng atau ga Ra?
Deg. Semua terasa hancur, airmata ku terus menggalir tanpa henti. Terduduk lemas di lantai dan rasanya aku hanya ingin teriak. Mengapa hal ini semua terjadi, apa salah ku? Waktu terasa berhenti sesaat saat aku mengetahui itu semua, tiba-tiba semua menjadi terlihat ke masa saat aku dulu bersama Rama. Aku hanya bisa menangis sekencang-kencangnya, aku berteriak seperti orang tak waras. Semua barang yang berada di sekitarku akuhancurkan termasuk bingkai foto-foto ku dengan Rama.
“Ka...kakak? Kamu kenapa?” terdengar suara Bunda dari luar kamar, namun aku tidak menghiraukan. Bunda pun langsung bergegas turun kembali setelah mencoba mengetuk pintu kamar ku namun tidak ada jawaban juga. Aku merebahkan tubuhku di atas lantai yang penuh pecahan kaca dari bingkai ku dan tak lama terdengar suara seperti orang ingin menobrak pintu kamar ku, ya dia Alvin.
“SIERRA??” Alvin terkejut melihat kamar ku berantakan dan banyak pecahan kaca dimana-mana
“Ra, lo kenpa sih?” tanya Alvin dengan wajah sangat khawatir
“Alvin” aku pun spontan memeluk Alvin sambil menangis
“Iya Ra udah, lo kenapa? Tadi nyokap lo khawatir banget di bawah dan kebetulan gue lewat sini dan mau mampir tapi ternyata lo kaya gini”
“Vin, please ajak gue keluar. Ijinin gue sama nyokap, gue tau nyokap pasti larang gue pergi. Please Vin gue butuh tempat buat gue ungkapin perasaan gue ini” pinta ku kepada Alvin
“Iya tapi janji lo jangan macem-macem ya”  Alvin pun memegang pundak ku untuk memastikan, dan aku menggangguk mencoba menegrti maksud Alvin.
Suara angin dan gemuruh ombak pun sangat menenangkan, suasana malam di pinggir pantai ini adalah tempat yang selalu menjadi tempat ku meluapkan apa yang aku rasa.
“Sekarang lo ceritain Ra? Ada apa? Jangan bikin gue khawatir” tanya Alvin dengan tatapan yang berbeda saat itu.
“Ra...rama” jawabku mulai menangis.
“Menangis lah Ra, kalau memang menangis itu bisa menenangkan semua perasaan lo”.
“Iya Vin, dia mau married. Emang banyak email yang dia kirim ke gue, tapi ga ada satu pun yang gue baca. Dan tadi sore Lala, sahabat gue dan Rama bilang ke gue kalau Minggu depan gue dan yang lain di undang ke....” jawabku mulai susah untuk berkata karena menangis.
“Ke mana Ra?”
“Ke nikahnya Vin, lo pasti tau gimana rasanya jadi gue. Hancur semua perasaan gue Vin, dua tahun bukan waktu yang sebentar buat gue jalanin semua itu sama dia. Dan asal lo tau, akhir tahun ini dia juga udah janji mau nikahin gue. Tapi entah kenapa semua berubah tiba-tiba Vin??” aku pun menangis terus
“Ra, ...” saat Alvin belum selesai meneruskan semua kata-katanya aku pun langsung memeluknya.
“Vin, gue ga kuat Vin. Gue sayang banget sama dia. Minggu depan tanggal 14 februari dia nikah Vin. Mau gak mau gue haus relain dia, apapun yang bisa membuat dia bahagia gue juga bahagia.”
“Tanggal 14? Tanggal 13 gue juga ada penerbangan kesana kok, mau gue temenin Ra, gue rasa waktunya pas kok kalau kita berangkat dari tanggal segitu?” Alvin pun menawarkan diri.
“Lo gak ada penerbangan lagi Vin, abis itu?” tanya ku.
“Gak kok, udah ya Ra lo yang sabar. Mana senyumnya?” Alvin pun berusaha menenangkan sambil merangkul ku.
**
Tanggal yang sangat ku hindari pun akhirnya datang, aku sudah duduk di bangku pesawat yang akan membawa ku terbang menyaksikan yang mungkin akan membuat ku sakit hati, lalu Alvin pun menghampiri ku.
“Ra, udah siap?” tanya Alvin dengan gagah dengan memakai seragam pramugaranya yang kebetulan memang dia sedang bertugas.
“Iya, Vin” kataku pelan dalam keraguan.
“Udah ya, nikmatin perjalanan ini. Berdoa, dan jangan khawatir ya gue akan selalu siap kalau lo butuh apapun” dan kembali Alvin selalu mencoba menenangkan perasaan ini lalu sambil mengusap rambut ku dia kembali bertugas. Akhirnya malam itu pesawat pun terbang membawa kami menuju Sidney, Australia.
Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam saja , memandangi pemandangan malam dari dalam kaca pesawat. Mengapa semua terasa cepat, baru saja aku ingin membina keluarga denganya namun semua mimpi ku harus terputus sampai hari ini. Hari dimana Rama sudah membuat keputusan untuk menyakitiku, ya keputusannya ingin menikah dengan wanita lain adalah keputusannya untuk menyakitiku.
“Ra, kita mau landing nanti kamu tunggu di loby dulu ya saat sudah turun dari pesawat. Inget, jangan main pergi ya. Tunggu gue” katanya memecahkan lamunanku sambil tersenyum
“Iya, Vin” kataku juga sambil tersenyum
**
Pagi hari itu pendaratan pun mulus terjadi, mengikuti apa yang Alvin bilang tadi padaku. Aku pun menunggunya di loby bandara. Alvin pun masih berpakaian lengkap menghampiri ku dengan tergesa-gesa seperti baru saja dia berlari-lari.
“Hah Ra? Yuk naik taxi langsung” tarik Alvin
“Lama ya, maaf ya?” Alvin tampak pucat namun senyumnya selalu menghiasinya
“Iya gak apa kok Vin” aku pun tersenyum menatap Alvin memastikan bahwa aku memang sangat baik-baik saja.
Kami pun bergegas menuju taksi yang langsung mengantarkan kami ke hotel. Sesampainya disana, kami langsung menyiapkan diri untuk menghadiri acara yang memang sangat aku hindari. Bukan hanya menyiapkan pakaian apa yang akan aku kenakan tapi juga menyiapkan hati dan mental yang sangat aku butuhkan ketika aku menyaksikan itu.
Perhatian yang Alvin berikan layaknya malam saat ini untukku, kenyamanan ini seolah terasa akhir-akhir ini. Seakan memang terasa teduhkan ku, aku merasa perhatian yang Alvin mulai berbeda.
**
Sesampainya kami disana, di Masjid Rooty Hill di jalan 25-29 Woodstock Ave-Rooty Hill. Disana suasana pun mulai ramai, kami pun memasuki ruangan masjid tersebut dan terlihat acara akan segera dimulai. Aku pun memberanikan diri melangkah di temani Alvin.
“Ra, lo yakin mau nyaksiin ?” tanya Alvin memastikan.
“Iya Vin” aku tersenyum dengan mata menahan peluh airmata.
Ketika aku dan Alvin duduk di ruangan tersebut, semua keluarga Rama dan Rama melihatku. Semua terkejut dengan kehadiranku termasuk teman-teman ku yang memang hadir disana. Detik-detik pengucapan ijab qabul pun datang, tatapan mata Rama kepadaku sangat lah penuh arti namun aku hanya tertunduk. Ternyata hati ini pun tak kuat juga menahan apa yang akan aku saksikan, aku berlari keluar masjid. Tiba-tiba Rama pun menghentikan ucapan ijab kabulnya dan mengejarku keluar. Tangis yang memang tidak dapat aku tahan pun mengalir dengan sendirinya, aku berdiri di halaman masjid dan tersungkur lemas, lalu aku merasa ada yang memelukku.
“Ra, maafin aku.”  aku pun mengenali suara itu,  Rama.
“Apa, kenapa semua ini terjadi?! Kamu tega sama aku Rama! KAMU TEGA!” aku pun berteiak dan pertengkaran ku dengan Rama disaksikan seluruh tamu.
“Gak, seperti yang kamu pikir Ra? Ga gitu, please kamu dengerin aku dulu” Rama ikut menangis dan bersimpuh memeluk kaki ku.
“Lepasin aku Rama, lepasin! Cukup kamu sakitin aku, jangan kamu sakitin wanita yang sedang menunggu kamu di depan penghulu saat ini.”
Saat semua sibuk memperhatikan aku dan Rama, selintas aku melihat Alvin dari kejauhan  yang mengamati ku sambil tertunduk lesu, tak menyadari arah langkah kakinya. Sepertinya ia ingin menyebrang jalan dan meninggalkanku. Berjalan pelan dan mundur perlahan namun saat Alvin mundur perlahan dia tidak memperhatikan sekitarnya. Sebuah mobil melaju dari  arah yang tidak terduga lalu kencang menabraknya. BRUK! Suara hantaman keras terdengar.
“ALVINNN !!!” Spontan aku berteriak dan berlari menghampiri Alvin yang penuh darah tak peduli dengan Rama saat itu.
“Alvin, Vin?? Bangun Vin, please” aku mengkoyak-koyakan tubuhnya Alvin dan memangku kepalanya yang juga sudah berlumuran darah saat itu
“Vinnn BANGUN! JANGAN BERCANDA SAMA GUE VIN! GUE SAMA SIAPA VIN PULANGNYA?? KATANYA LO MAU NEMENIN GUE?” aku pun makin keras berteriak mencoba membangunkan Alvin, lalu tiba-tiba pengantar bunga datang mencariku, dia memberi rose bucket dan langsung pergi. Aku mendekatkan buket itu ke depan hidungku dan mengendus baunya. Bau tajam bunga mawar serta-merta menyergap hidungku. Bucket mawar ini indah sekali.
Di dalam bucket itu terselip surat yang aku lihat itu ada tulisan bernamakan Alvin, segera aku buka
Dear Sierra,
Sejak sembilan tahun yang lalu, saat kuncir dua mu itu masih tersemat di kepalamu.
Dan saat itu juga aku selalu memperhatikan mu, diam ku itu bukan aku malu
Namun aku hanya takut ketika nanti kamu mengetahui apa isi hati ku
Sierra, semua tentangmu selepas SMP dulu aku selalu mengetahuinya, termasuk tentang mu dengan Rama.
Sierra sengaja aku kirim rose bucket ini karena aku tahu, kamu sangat menyukai warna merah dan bunga
Aku pun juga berharap kejujuran ku ini tidak membuat mu terganggu dan setelah aku mengetahui masalahmu dengan  Rama saat ini, aku berharap kamu akan sedikit terhibur Sierra.
Mungkin ini semua terlihat kaku ya, tapi tak apalah aku baru kali ini memberanikan diri mengungkapkan apa yang aku rasa ke wanita yang aku sukai.
Apa kamu mengingat Sierra, saat ada coklat yang selalu terselip beserta surat dengan kertas bewarna merah datang saat Valentine?
Dan kamu terkejut dan selalu mencari siapakah yang memberikanya karena memang setiap tahun selalu ada ?
Ya, itu aku Ra...
Maafkan aku ya Ra, jika itu semua membuat mu terganggu
Saat itu aku hanya tidak tahu harus bagaimana mengungkapkan apa yang aku rasa
Mungkin saat kamu membaca ini semua, bagimu ini sudah tidak penting
Namun baru saat ini aku mampu memberanikan diri untuk mengatakan ini semua walau hanya lewat sebuah tulisan.
Dan pertemuan kita saat di halte kemarin adalah usaha ku untuk mencari kembali alamat mu
Aku rasa sembilan tahun cukup untukku memendam ini semua Ra, maafkan aku ya. Selamat hari Valentine ya Ra

                                                                                    Salam untuk si manis berkuncir dua
                                                                                                            Alvin
“Alvinnnnn!!!!!!!!bangun Vin” aku pun terus mencoba mengkoyak-koyak tubuh Alvin.
Semua hanya terdiam menyaksikan ku dan Alvin, termasuk Rama. Tiba-tiba ada gerakan di bibirnya Alvin aku pun mendekati ingin mendengarkan apa yang ingin ia katakan.
“Ra~~a, senyum ya, k~~amu s~udah t~err~ima rose nya?” tanya alvin pelan dan penuh terbata-bata.
“Iya udah, ah lo jangan becanda ah yuk balik lagi kita ke Indonesia Vin. Lo terbang lagi lo kejer mimpi-mimpi lo lagi” kataku menangis sambil memberi semangat.
“Sy~~uku~~rlah Ra, ma~~fin aku ya, n~amun a~~aku ~le~ga.....” Alvin pun terdiam dan kembali menutup mata.
“ALVINNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN!!!”
**
Satu bulan setelah itu, aku berjalan dengan langkah yang sangat goyah menyusuri keheningan malam. Menatap ponselku yan biasanya ada pesan dari Alvin, dan sekarang semua hanyalah sebuah mimpi untuk mendapat pesan-pesan itu. Aku pun mencoba mencari akun twitter pribadi milik Alvin, disitu terdapat tweet terakhir nya.
A couple years we haven’t met, and i’ve tried to forget you cause you’re such an impossible
Semua hanya penyesalan memang yang aku dapatkan saat ini, semua masih teringat jelas di ingatan ku. Saat pertemuan kami di saat hujan, pelukanya yang menghangatkan ku, pesan-pesan yang selalu memberi ku semangat dikala aku sedih dan saat terakhirnya.
 Alvin andai kamu tahu, dulu hingga saat ini aku masih mengingat apa yang aku rasakan. Ya, aku juga menyukai mu namun ada satu kata yang membuatku tidak bisa mengatakan perasaan ini juga yaitu “sahabat” . Aku pun langsung terpintas ingin menuliskan untuk persembahan terakhir untuk mengenang Alvin
Sang fajar tersenyum, ya tersenyum menyambutku
Menyambutku menandakan bahwa pagi akan segera di mulai
Susunan kapas putih di langit pun membentuk simfoni bersama mentari
Angin dan rumput pun bermain menari indah bersama

Kelopak indah itu tersusun rapih,
Membentuk sebuah keindahan lain
Dan dari keindahan lain membentuk menjadi beribu keindahan
Air langit itu, menjadi saksi pertemuan kita kembali
Dan keteduhan tatapan tertunduk itu kembali menatapku
Namun saat ini mata itu telah menutup dan tak akan lagi menatapku
Tangan itu telah berubah menjadi dingin dan tak bisa lagi menghangatkan ku
Kata itu sudah membisu tak dapat lagi tenangkan ku
Belum selesai aku menyelesaikan tulisan ini, angin pun seperti menyentuh uraian rambutku lembut, ah.. Alvin apakah dia tahu saat ini aku sedang menulis puisi kecil untuknya?. Dan tiba-tiba saja dentingan bambu-bambu kecil yang tergantung di dekat pintu itu berdenting dan bergoyang seolah memberi isyarat bahwa Alvin sedang berada di sini, di dekat ku. Alunan lagu Kerispatih – Mengenangmu selintas terdengar merdu di telingaku.
Semoga ketenagan menjaga mu disana
Menjaga kekasih hati ku yang tak sempat aku miliki
Salam manis ku untukmu penggemar kuncir  dua ku.
                                                                                                                                    -Sierra-
Dan kembali, seolah memang Alvin berada di sampingku. Angin menyibak kecil uraian rambutku dan kembali mendentingkan tirai bambu-bambu. Semoga kamu tenang ya Vin disana, aku tidak akan melupakan ini semua. Ya, semua yang aku rasakan saat ini adalah perasaan yang sangat bergejolak, walaupun kamu tidak bisa aku miliki tapi aku mengetahui jika perasaan itu memang ada. Pergilah Alvin di ketenanganmu, semoga nanti kita bertemu di keabadian.

Tidak ada komentar: