Lapangan Tanah Merah
( ini masih di ikutkan di event Peri Penulis )
Malam
ini nampak cerah, lapangan tanah merah ini adalah tempat mereka melepas lelah
setelah seharian bekerja. Ya, anak-anak itu yang seharusnya masih menikmati harinya dengan
penuh kegembiraan,tapi mereka
harus mencari sendiri sesuatu untuk menggapai kegembiraanya dalam seteguk ataupun sesuap nasi.
harus mencari sendiri sesuatu untuk menggapai kegembiraanya dalam seteguk ataupun sesuap nasi.
“Elaaaaaaaaaaaaaaaa,
sini setor duit ke gue.” panggil si Mak
Gemblong. Umurnya Ella masih 6 tahun. Mak Gemblong itu adalah boss di
daerah situ, badanya yang besar dengan tampang sangar. Jelas, dia yang
menguasai dan mengendalikan anak-anak pinggiran
kawasan Plumpang. Dan Ela adalah anak yang selalu ditindas oleh Mak Gemblong “Iya mak, bentaran ya!” Ela
pun masih berlari kecil mengejar teman sebayanya.
“Kagak! Kemari
lo. Gue mau tarohan sekarang! Cepettttttt!” sambil menarik tanganya yang kecil
dan sangat rapuh. Di tariknya tangan dan
helaian rambut kusutnya itu sampai dia kesakitan.
“Iiiii--yaa mak,
maaa aaff.” tangisan dari bocah kecil itu mulai terdengar.
“Nah, pan begini gue demen! Kenapa sih lo
harus gue paksa dulu, demen banget gue siksa!” si Emak Gemblong itu pun terlihat
puas dengan perbuatanya barusan sambil menghitung uang yang dia peroleh dari
gadis kecil itu.
Di
sudut lapangan tanah merah itu, Ela hanya duduk sambil menangis. Apa yang dia
dapatkan hari ini, di ambil semua oleh si Emak.
Dia yang sudah bersusah payah mendapatkan uang tapi dengan gampangnya si Emak merebut semuanya. Memang itu sudah
menjadi tradisi di kawasan ini, apa yang anak jalanan itu dapatkan mereka harus
menyerahkan semuanya, dan mereka hanya mendapatkan imbalan makanan yang sangat
seadanya dengan jatah makanan sehari
sekali, daan tempat tidur yang hanya beralaskan dan beratapkan kardus.
**
Plataran
kantor dan ruko adalah tempat mereka melepas lelah ditengah aktifitas.
Wajah-wajah penuh peluh dan harapan selalu tampak di wajah Ella beserta teman
sebayanya yang bernasib sama dengannya. Walaupun terkadang Mak Gemblong
mengawasi mereka dari jauh, mereka bisa menyembunyikan sedikit uangnya untuk patungan membeli dan makan bersama.
Hanya dengan satu nasi bungkus dan satu plastik teh tawar hangat, bisa
mengembalikkan senyum dan semangat mereka.
**
Lampu
merah adalah nyawa mereka. Disanalah tempat mereka mencari nafkah. Hanya
bermodalkan kayu, dan tumpukan tutup botol bisa menghasilkan segenggam uang receh. Terkadang ada yang memberi mereka
uang yang nominalnya besar, dan ada yang hanya menghina mereka. Mereka tidak
bersalah, mereka kumpulan anak yang tersesat di hiruk pikuk Jakarta, mereka
rata-rata hilang dari rombongan orangtuanya yang berdomisili di kampung, tak
tahu arah jalan pulang dan di temukan oleh Mak
Gemblong di sudut jalan Jakarta.
**
Setiap
malam Ella dan temannya duduk diatas tanah lapangan merah itu, tepat di
belakang bangunan kantoran serta jalanan yang biasa mereka lewati setiap hari.
Bermain, berlari, mengejar satu sama lain dan terkadang mereka merebahkan tubuh
mereka diatas tanah merah itu tidak peduli baju mereka kotor. Mereka menatap
langit bersama.
“Aku ingin deh
ke situ suatu hari nanti.” Ella menunjuk satu bintang yang paling terang dengan
sumringah.
“Aku juga, mau
ke bulan.” balas teman sebayanya sambil tertawa kecil.
“Itu punya ku.”
sahut teman yang lain.
“Ih.... aku!”
“Aku..” Ella pun
berdiri dan menghampiri teman yang lain, dia menggelitik perut temannya itu,
dan terjadilah kejar mengejar satu sama lain.
Mereka berlari,
berputar mengitari tanah lapang itu. Dan “Woiiii, kemari lu padaa.” Sperti
biasa Mak Gemblong datang dan
memanggil mereka untuk meminta upeti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar